Jakarta – Pada 6 Mei 2021, tepat 100 hari perjalanan kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo di tubuh kepolisian. Menanggapi momentum tersebut, GMKI Pusat melalui Ketua Umum, Jefri Gultom berpendapat bahwa kita tidak bisa menilai kinerja kepemimpinan seseorang hanya dengan 100 hari pertama, berhubung cakupan wilayah geografis yang luas dengan kompleksitas masalah juga yang beragam, apalagi dengan situasi pandemi seperti sekarang.
Jefri Gultom juga mengatakan, banyak kebijakan dan terobosan di tubuh Polri yang belum sepenuhnya terwujud karena mempertimbangkan krisis Covid-19. Namun, harapan besar masyarakat dari waktu ke waktu tetap sama bagaimana kehadiran Polri memberikan kepastian hukum bagi semua warga masyarakat. Hal ini dikarenakan hukum selama ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Meski demikian, GMKI menghargai dan mengapresiasi usaha dan inisiatif Polri untuk melakukan inovasi kebijakan publik dalam tiga bulan bertugasnya Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Sejauh ini dalam catatan GMKI, terobosan Kapolri adalah Virtual Police untuk peningkatan pelayanan dan kinerja melalui ekosistem digital hingga aplikasi pengawasan publik terhadap kepolisian. Jadi, dalam hal ini kepolisian sektor tidak mengurusi kasus pidana, mendorong konsep dialog melalui pendekatan budaya bagi Polsek untuk menjamin Keamanan dan Ketertiban masyarakat bersamaan dengan pembukaan taman baca untuk masyarakat di Polsek-Polsek terkait.
Bahkan menurut GMKI, beliau mampu membangun kedekatan dengan seluruh elemen masyarakat lintas golongan, agama, suku dan ras. Tetapi, Jefri Gultom memandang yang paling penting ketika inovasi kebijakan publik memakai ekosistem digital adalah manajemen komunikasi publik baik secara internal maupun ekternal harus benar-benar terintegrasi secara baik.
Berhubung era digital yang juga dikenal dengan era Post-Truth memberi peluang bagi masyarakat untuk terjebak pada hoaks dan berita bohong. Tandanya institusi Polri tidak hanya melakukan inovasi atas kebijakannya tapi juga pola pendekatan dan komunikasi publik melalui penguatan literasi digital dan sosialisasi kebijakan agar tepat sasaran.
Sehingga cita-cita beliau yang akan menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan atau Polri Presisi bisa menjamin kepercayaan dan harapan akan keadilan bagi semua. Selain itu, kita juga mengapresiasi langkah Kapolri yang dengan sikap responsive terhadap peristiwa bencana yang terjadi melalui peningkatkan sinergisitas dan soliditas TNI-Polri, serta bekerjasama dengan kementerian/lembaga untuk mendukung dan mengawal program pemerintah.
Kita tidak bisa menilai kinerja kepemimpinan seseorang hanya dengan 100 hari pertama, berhubung cakupan wilayah geografis yang luas dengan kompleksitas masalah juga yang beragam.
Pada momentum 100 hari ini, kami menyampaikan tujuh pengingat dan harapan bagi Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan keluarga besar kepolisian untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab sejarah dengan baik kedepannya.
Pertama, penanganan Covid-19 menjadi dalih penangkapan sewenang-wenang dan pembubaran aksi massa yang masih terjadi dibeberapa wilayah.
Kedua, integrasi sistem pelayanan terpadu yang masih terdapat cara lama yakni pungutan liar, terutama di tingkat menengah kebawah.
Ketiga, masalah terorisme dan tantangan disintegrasi nasional. Kami berharap kepada Polri untuk melakukan pendekatan humanis dalam proses pencegahan tidak hanya mengandalkan penindakkan.
Artinya deradikalisasi dan sosialisasi mengenai wawasan kebangsaan harus lebih mengedepankan pendekatan berbasis budaya lokal dengan mengajak masyarakat ikut terlibat dan berpartisipasi dalam memperkuat pemahaman mengenai Pancasila. Artinya perlu kerjasama dan kolaborasi yang intensif dengan organisasi, LSM, institusi agama, tokoh-tokoh bangsa untuk mengatasi ancaman ini.
Keempat, Polri harus menjamin sikap independensinya dalam menangani berbagai kasus khusus bagi anggota Polri aktif yang sedang bertugas di institusi lain diluar Polri.
Kelima, kasus HAM yang dari tahun ke tahun masih menyimpan reaksi negative dari para korban dan aktivis HAM termasuk LSM yang kurang transparan dalam penanganannya. Misalkan saja kasus Laskar FPI yang menuai banyak protes.
Keenam, khusus untuk kasus HAM di Papua diharapkan Polri lebih peka dan respek pada pendekatan budaya masyarakat Papua. Pola komunikasi dan integrasi antara kebijakan Polri sebagai wujud kehadiran negara dengan pendekatan kultural sebagi fondasi dialog agar lebih intensif sehingga titik temu penyelesaian maslah Papua bisa secepatnya terwujud.
Untuk poin keenam, sangat penting ditahun ini karena bertepatan dengan isu Otonomi Khusus. Pada konteks inilah institusi Polri dituntut untuk lebih proaktif dalam melakukan dialog.
Ketujuh, Kapolri harus lebih responsif terhadap instruksi Presiden terkait Mafia Tanah. Mengingat kasus mafia tanah ini sudah menumpuk sejak lama dari tahun ke tahun bahkan Kapolri silih berganti tetapi mafia tanah tetap seiring sejalan tanpa ada kejelasan dalam penyelesaiannya.
Dengan begitu, besar harapan bahwa konsep Kapolri yang akan menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan atau ‘’Polri PRESISI’’, harus menjadi etos kerja atau habitus baru kinerja anggota polri. []