Site icon InformasiTeraktual

Benahi Budaya Organisasi Polri

ANDRI GINTING/SUMUT POS- Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin Toba 2012 dalam rangka Pengamanan Hari Natal 2012 dan Tahun Baru 2012 di Lapangan Merdeka, Medan, Jumat (21/12).

Dua oknum anggota Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease ditangkap karena menjual senjata api dan amunisi kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Ini salah satu perilaku menyimpang yang sulit diberantas. Solusinya?

Jakarta, 24/2/2021. Lagi-lagi nama baik Korps Kepolisian Republik Indonesia tercoreng dengan perilaku menyimpang oknum anggotanya. Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol Muhamad Roem Ohoirat menjelaskan, penangkapan dua oknum polisi itu berawal dari penangkapan seorang warga Bentuni yang kedapatan membawa senjata api dan amunisi, Rabu (10/2/2021).

Dari hasil pemeriksaan, warga yang ditangkap itu mengaku mendapatkan senjata dan amunisi dari oknum polisi yang bertugas di Polresta Pulau Ambon. Kapolda Maluku Irjen Refdi Andri lantas memerintahkan Kapolresta Pulau Ambon untuk berkoordinasi dengan Polres Bentuni dan Polda Papua Barat.

 “Setelah itu penyelidikan dilakukan dan langsung dilakukan penangkapan,” katanya. Roem tidak menjelaskan secara detail identitas dan peran dari kedua oknum polisi tersebut, termasuk hubungan mereka dengan KKB. Ia juga tak bersedia menjelaskan jenis senjata api dan amunisi yang dijual. Kedua oknum anggota polisi itu kini tengah menjalani pemeriksaan di Mapolda Maluku.

Perkara Lama

Pada November 2020, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom kepada media pernah membenarkan bahwa jual-beli senjata api dan amunisi adalah perkara lama yang masih dilakoni hingga kini. “Ya, benar. Harga bervariasi. Prinsipnya, TPNPB butuh senjata dan anggota TNI-Polri butuh uang, itu saja,” katanya. Senjata itu merupakan jenis standar yang kerap dipakai oleh aparat. “Berapa anggota TNI-Polri patok harga, beli saja,” tambah Sebby. Harga tertinggi yang pernah ditebus Rp. 250 juta – Rp. 300 juta, lalu sebutir peluru Rp100 ribu. Harga yang relatif menggiurkan untuk oknum yang rentan godaan.

Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia Leopold Sudaryono, pada dasarnya senjata api dan amunisinya adalah komoditas berharga di daerah konflik. Menjualnya di wilayah tersebut mendatangkan uang banyak. Godaan ini yang menurutnya sulit ditolak oleh pihak yang memiliki akses ke persenjataan. Meski begitu, sejauh ini pelaku “masih terbatas pada individu-individu tertentu dengan motif ekonomi, tidak ditemukan bukti mengarah pada tindakan kolektif atau pun motif ideologis,” kata Leopold. Motif ideologis yang dimaksud adalah mendukung gerakan gerilyawan.

Namun bukan berarti transaksi hitam ini tidak dapat ditekan bahkan dihentikan. Ini bisa dilaksanakan dengan memperkuat pengawasan dan pengendalian senjata api sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 38 Tahun 2014 atau Peraturan Kapolri Nomor 11 Tahun 2017. Dua peraturan itu secara khusus menetapkan mekanisme dan prosedur khusus pelacakan dan penggunaan senjata api di wilayah konflik. Satgas gabungan yang mengawasi penyimpanan dan penggunaan juga perlu dibikin, kemudian di tingkat satuan dilekatkan mekanisme pelaporan yang lebih ketat. “BAIS TNI dan Baintelkam Polri juga bertanggung jawab untuk deteksi potensi transaksi jual-beli,” katanya.

Paling Disorot

Polri merupakan salah satu penegak hukum yang paling mendapat sorotan dari masyarakat, Karena polisi merupakan garda terdepan dalam penegakkan hukum pidana, sehingga tidaklah berlebihan jika Polisi dikatakan sebagai hukum pidana yang hidup (Satjipto Raharjo : 2002).

Perilaku penyimpangan  polri  merupakan tindakan dari anggota  polisi pada saat melakukan tugasnya dimana proses pengerjaannya tidak sesuai dengan  etika profesi kepolisian yaitu polisi sebagai penegak hukum yang profesional, bermoral, memiliki kredibilitas  dan beretika.

Sebenarnya, perilaku beretika kepolisian dimuat dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, pasal 34 ayat (1), yang membahas  tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: ” Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republuik Indonesia terikat pada kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Ini berarti, dalam menjalankan tugasnya polisi harus tunduk terhadap hukum dan etika kepolisian.

Menurut Kunarto (1997)  Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku Polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakkan hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.  Namun pada kenyataannya, walaupun prilaku beretika polisi sudah dimuat dalam UU, masih saja ada angota kepolisian yang suka melanggar (melakukan penyimpangan) pada saat menjalankan tugasnya di lapangan.

Jenis Perilaku Menyimpang

Menurut pengamat politik dan kepolisian Muradi Clark (2014), jenis-jenis penyimpangan yang dilakukan polisi dalam posisinya sebagai penegak hukum dan lembaga keamanan dan ketertiban dapat digolongkan menjadi 8 jenis, yaitu: pemberian ilegal,  pemerasan (extortion),  broker (brokering),  manipulasi,  kolusi,  korupsi, penyalah gunaan pembuktian, dan  penggelapan.

Perilaku Polri yang sering mendapat kritikan adalah berkaitan dengan penggunaan kekerasan dalam pelaksanaan tugas, dimana perilaku tersebut telah membudaya terutama dalam penyidikan untuk mendapat pengakuan terdakwa (Indriyanto Seno Adji : 2001). Perilaku atau tindak kekerasan merupakan budaya militer yang sudah tertanam dalam tubuh Polri sejak Polri masih bergabung dengan ABRI. Walaupun Polri sudah lepas dari ABRI selama 20 tahun, namun budaya lama masih sulit dihilangkan. Memang harus diakui, bahwa merubah budaya yang sudah tertanam selama 30 tahun merupakan hal yang sulit, tetapi tetap tidak mustahil untuk diwujudkan, semua tetap berawal dari diri masing-masing anggota polisi.

Perubahan Polri dari budaya militer menjadi Polisi sipil harus mulai ditanamkan oleh institut kepolisian sejak awal pendidikan kepolisian, dengan adanya pengarahan dan seminar yang di lakukan di setiap level pendidikan kepolisian, akan dapat membantu meningkatkan kualitas SDM, sehingga prilaku yang sesuai dengan etika kepolisian pun dapat terwujud. Perilaku kekerasan di tubuh Polri tidak hanya terjadi antara polisi dengan masyarakat, tetapi juga terjadi antara polisi dengan polisi, ini dapat dilihat dari kasus meninggalnya seorang polisi di Akpol, akibat tindak kekerasan yang dilakukan antara senior ke junior.

Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisiian ini menimbulkan keresahan yang cukup besar di dalam masyarakat, dimana polisi suka memukul tersangka ketika ingin mendapatkan pengakuan atau dalam penanganan kasus unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa yang baru-baru ini terjadi, dimana kasus penanganan unjuk rasa tersebut memakan 4 korban jiwa.

Selain contoh di atas, masih ada banyak lagi kasus perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota polisi. Banyaknya penyimpangan yang terjadi, membuat citra polisi pun menurun di mata masyarakat, dimana tugas polisi yang berfungsi sebagai pelindung, polisi dilihat dimata masyarakat sebagai penindas. Contoh lain prilaku penyimpangan yang di lakukan oleh anggota polisi yang mencolok di mata masyarakat adalah prilaku korupsi.

Perilaku mengumpulkan kekayaan (korupsi, pungli dan lai-lain) terjadi karena adanya gaya hidup anggota kepolisian yang cukup tinggi dimana gaya hidup tersebut tidak sesuai dengan pendapatan yang diterima, hal ini pun menyebabkan anggota polisi mencari jalan alternatif untuk mencari pendapatan tambahan. Perilaku penyimpangan mengumpulkan kekayaan ini juga cukup meresahkan, karena prilaku penyimpangan ini terjadi di seluruh tubuh kepolisian baik dari yang berpangkat rendah maupun berpangkat tinggi. Tingginya perilaku penyimpangan ini menarik perhatian sejak Kapolri dijabat oleh Jenderal Pol Tito Karnavian, dan untuk mengatasinya, membuat beberapa regulasi untuk memberantas prilaku yang buruk ini.

Untuk mencegah terjadinya prilaku penyimpangan pengumpulan harta kekayaan, Saat itu Tito Karnavian meminta agar semua anggota Polri untuk membuat laporan Harta kekayaan, untuk menditeksi kasus penimbunan kekayaan berlebihan secara tiba-tiba. Kebijakan ini juga masih dilanjutkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.mSedangkan untuk kasus tindak kekerasan, Polri memberikan program Reward and Punishment : memberikan reward/hadiah kepada anggota yang melaporkan jika ada  melihat anggota polisi melanggar etika kepolisian, dan menghukum anggota Polisi yang menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan prosedur dan etika kepolisian.

Tidak Mudah  

Mengubah budaya/kebiasaan memang sangat sulit, oleh sebab itulah harus dilakukan sejak awal anggota polisi memasuki pendidikan, dan komunikasi antara pimpinan dengan bawahan juga harus ditingkatkan. Semua anggota  polisi harus menyadari bahwa tiap kesalahan yang di lakukan anggota polisi akan membawa buruk nama kepolisian. Itulah sebabnya semua anggota polisi harus memiliki komitmen dan motivasi dari dalam diri mereka masing-masing untuk meningkatkan reputasi Polri menjadi lebih baik. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menurut Barito Mulyo Ratmono dalam jurnal berjudul Membaca Ulang Kultur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam), telah berupaya melakukan perubahan terhadap kultur organisasinya, namun upaya ini terciderai oleh perilaku dan tindakan menyimpang dari sebagian anggota Polri.

Akibatnya image Polri di masyarakat cenderung negatif dan terjadi generalisasi stigma dari masyarakat terhadap kultur Polri. Padahal stigma tersebut seharusnya hanya dilekatkan kepada sebagian anggota yang melakukan penyimpangan saja bukan kepada organisasi Polri. Sebab organisasi Polri tidak pernah memberikan toleransi terhadap segala bentuk penyimpangan.

Polri kerap memperdebatkan bahwa bukan kultur organisasinya yang tidak baik, melainkan perilaku dan tindakan sebagian anggota yang sebenarnya tidak baik. Tetapi Polri tidak dapat menghindari kenyataan bahwa perilaku dan tindakan tersebut terus menerus diproduksi dan tanpa disadari dimaknai menjadi suatu yang benar serta dilakukan oleh sebagian anggotanya. Padahal Polri telah memiliki pedoman nilai, norma, dan simbolisasi normatif yang dijadikan sebagai pedoman hidup dan kerja para anggotanya ketika melaksanakan tugas kepolisian.

Dengan demikian semakin jelas bagi kita bahwa perilaku penyimpangan, seperti penjualan senjata kepada KKB di Papua oleh oknum anggota Polri, jelas merupakan perilaku individu yang menyimpang bukan Polri sebagai institusi. Menurut Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol Muhamad Roem Ohoirat, keterlibatan anggota Polri dalam upaya penjualan senjata ke kelompok kriminal bersenjata di Papua mencoreng nama baik institusi Polri yang selama ini membantu TNI memerangi kelompok tersebut. ”Tidak ada toleransi sedikit pun bagi anggota yang bertindak seperti itu,” katanya. Roem berjanji, pihaknya akan mengusut tuntas kasus tersebut, termasuk mendalami keterlibatan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat umum atau instansi yang lain. (Saf).

Exit mobile version