PilarBerita.com – Dalam perhelatan diskusi “Rakyat Bersuara” yang disiarkan pada Selasa malam, 27 Agustus 2024, terjadi perdebatan sengit antara Adian Napitupulu, seorang politisi PDIP, dan Silfester Matutina, Ketua Umum Organisasi Masyarakat Solidaritas Merah Putih. Perdebatan ini berfokus pada status kondisi Indonesia, apakah sedang “baik-baik saja” atau justru sebaliknya. Dalam diskusi tersebut, topik panas mengenai aksi demonstrasi dan relasinya dengan aparat keamanan menjadi sorotan utama.
Silfester Matutina membuka perdebatan dengan menyatakan bahwa dalam aksi demonstrasi, gesekan antara para demonstran dan aparat adalah sesuatu yang biasa terjadi. Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat di Indonesia, di mana masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya, bahkan jika hal tersebut menimbulkan ketegangan dengan aparat keamanan.
Namun, Adian Napitupulu dengan tegas membantah pernyataan Silfester. Menurut Adian, pandangan yang menyebut gesekan antara demonstran dan aparat sebagai hal biasa adalah keliru. “Kita tidak boleh membiarkan kekerasan menjadi norma dalam demonstrasi. Negara ini harus mampu menjaga hak rakyat untuk berdemonstrasi tanpa harus diwarnai dengan kekerasan,” ujar Adian.
Dalam diskusi tersebut, pakar hukum tata negara Refly Harun turut memberikan pandangannya terkait pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kongres Partai Nasdem. Dalam pidato tersebut, Jokowi merasa seolah-olah telah ditinggalkan, meskipun ia tidak secara eksplisit menyebutkan siapa yang dimaksud. Refly Harun menilai, pidato ini mencerminkan situasi politik yang sedang dihadapi Presiden Jokowi, terutama menjelang berakhirnya masa jabatannya pada Oktober mendatang.
Refly mengaitkan pernyataan Jokowi tersebut dengan peristiwa dalam rapat paripurna DPR yang membahas RUU Pilkada yang akhirnya batal tanpa kelanjutan. “Ini bisa jadi indikasi bahwa Presiden Jokowi memang sudah mulai ditinggalkan, baik oleh rakyat maupun oleh elite politik,” ujar Refly Harun.
Selain itu, diskusi tersebut juga menghadirkan akademisi Rocky Gerung, yang memberikan pandangannya terkait narasi “bau ketek” yang menjadi viral bertepatan dengan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI pada 22 Agustus lalu. Rocky menegaskan bahwa kritik tersebut sebenarnya tidak ditujukan pada bau ketek secara harfiah, tetapi lebih kepada sindiran terhadap “bau ketek dinasti,” yang merujuk pada dinasti politik yang berkembang di Indonesia.
Rocky secara terang-terangan menyebutkan bahwa Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, serta menantunya Erina Gudono, adalah bagian dari dinasti politik ini. Rocky juga membandingkan situasi ini dengan sejarah Prancis di era Revolusi, di mana Marie Antoinette, ratu Prancis saat itu, menjadi sasaran kritik masyarakat karena gaya hidupnya yang mewah di tengah kesulitan ekonomi negara. “Yang disasar bukan tubuh Marie, tapi tubuh istana yang menghamburkan uang negara, sehingga menyebabkan Prancis bangkrut,” tegas Rocky.
Diskusi kemudian beralih pada topik Pilkada Jakarta 2024, yang menurut Qodari, seorang pengamat politik, akan menjadi ajang pertarungan sengit bagi para calon kepala daerah. Qodari memprediksi bahwa isu-isu seperti korupsi, nepotisme, dan kinerja pemerintahan akan menjadi tema sentral dalam kampanye mendatang.
Adian Napitupulu, yang juga terlibat dalam pembahasan ini, menyatakan bahwa Pilkada Jakarta 2024 adalah momentum penting bagi warga Jakarta untuk menentukan arah masa depan kota ini. Ia menekankan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak bersih dan komitmen kuat terhadap reformasi.
Debat yang terjadi di acara “Rakyat Bersuara” ini menunjukkan betapa dinamisnya situasi politik Indonesia saat ini. Berbagai isu mulai dari kondisi demonstrasi, pernyataan Presiden Jokowi, hingga narasi “bau ketek” yang menyindir dinasti politik, mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi bangsa ini. Dengan Pilkada Jakarta 2024 yang semakin mendekat, perdebatan mengenai masa depan Indonesia akan semakin intensif, mencerminkan keinginan masyarakat untuk perubahan yang lebih baik.
Sumber: iNews.