Pilarberita.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyeret seorang kepala daerah ke meja pemeriksaan. Gubernur Riau Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima uang sekitar Rp 2,25 miliar dari praktik pemerasan terhadap enam Kepala UPT di lingkungan Dinas PUPRPKPP Riau. Dana yang diterimanya disebut sebagai jatah yang dikaitkan dengan penambahan anggaran proyek pembangunan jalan dan jembatan dari Rp 71 miliar menjadi Rp 177 miliar.
Penetapan tersangka ini menjadi sorotan publik, terutama karena Riau telah berulang kali menjadi sorotan dalam kasus serupa dalam dua dekade terakhir. Kondisi tersebut memperlihatkan betapa akar persoalan korupsi kepala daerah tidak bersifat insidental, melainkan tumbuh dari persoalan struktural dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung diberlakukan pada 2005, puluhan gubernur di Indonesia berhadapan dengan kasus rasuah. Fenomena ini mengilustrasikan tekanan tinggi dalam kontestasi politik lokal yang membutuhkan biaya besar. Kandidat yang mengikuti pemilihan kerap menggelontorkan dana untuk berbagai kebutuhan kampanye, mulai dari pembiayaan alat peraga hingga dukungan mesin politik.
Akibatnya, setelah terpilih, sebagian pemimpin dianggap harus “membayar kembali” dukungan tersebut melalui kebijakan yang berpotensi merugikan publik. Situasi ini menciptakan celah bagi praktik rente dan permainan anggaran. Khususnya dalam sektor konstruksi dan pengadaan barang dan jasa, yang sering menjadi lahan utama penyimpangan. Tekanan ini memunculkan praktik setoran atau bagi hasil dari proyek pemerintah, sehingga arah kebijakan daerah kerap maju bukan demi pembangunan, melainkan demi kepentingan penguasa dan kelompoknya.
Dalam kasus di Riau, dugaan intervensi pada anggaran infrastruktur memperlihatkan bahwa wewenang kepala daerah dapat digunakan untuk menekan pejabat teknis maupun pihak swasta. Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya membawa kesejahteraan, namun malah membuka ruang bagi munculnya figur berpengaruh yang memperlakukan jabatan layaknya kerajaan kecil.
Padahal, daerah seperti Riau dikenal memiliki budaya religius serta menjunjung nilai-nilai adat. Namun, prinsip moral yang dijunjung secara sosial belum sepenuhnya tercermin dalam tata kelola pemerintahan. Di ruang publik, seruan integritas dan nilai etika sering terdengar, tetapi penerapannya di lingkungan kekuasaan kerap tidak berjalan seiring. Nilai adat dan agama lebih tampak dalam acara formal daripada menjadi landasan dalam pengambilan keputusan publik.
Kasus terbaru ini memberi pengingat bahwa persoalan korupsi kepala daerah tidak bisa dipandang sebatas perilaku individu. Sistem politik yang mahal, lemahnya pengawasan internal, serta struktur birokrasi yang belum sepenuhnya transparan turut memainkan peran besar. Ketika pengawasan publik dan meritokrasi tidak berjalan efektif, otonomi daerah berisiko berubah menjadi ruang kekuasaan absolut bagi segelintir elite.
Dengan kondisi tersebut, penegakan hukum diharapkan tidak hanya menjerat pelaku, tetapi juga mendorong perbaikan sistem. Tanpa penguatan etika publik, transparansi anggaran, serta pembenahan mekanisme politik daerah, cita-cita awal otonomi daerah untuk menciptakan pemerintahan yang dekat dengan rakyat dan bersih dari praktik korupsi akan terus menghadapi tantangan besar.

