Pilarberita.com – Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FPE KSBSI) baru-baru ini mengungkap hasil survei terkait keselamatan kerja di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Temuan tersebut menunjukkan adanya empat faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan kerja, yakni kelalaian pekerja, kondisi lingkungan, kurangnya alat pelindung diri (APD), serta kerusakan peralatan.
Presiden FPE KSBSI, Riswan Lubis, menyoroti lemahnya implementasi budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di IMIP. Menurutnya, pengawasan yang kurang ketat serta hubungan kerja yang kurang harmonis antara tenaga kerja asing (TKA) dan pekerja lokal memperparah situasi. “Lemahnya penerapan sistem K3 ini terjadi karena adanya pembiaran dari pengawas. Selain itu, hubungan yang kurang baik antara TKA dan pekerja lokal turut memperburuk kondisi,” ujar Riswan dalam seminar di Palu pada 27 Februari 2025.
Survei yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi akar permasalahan dalam penerapan K3 di IMIP. Menurut Riswan, harapannya adalah agar kondisi kerja di kawasan industri ini mengalami perbaikan, sehingga kecelakaan yang merugikan pekerja tidak terus berulang. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja pegawai di kawasan ini mencapai 56 jam per minggu atau 225 jam per bulan, kondisi yang dinilai berisiko terhadap keselamatan pekerja.
Tingginya Angka Kecelakaan di IMIP
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja, Yuli Adiratna, mengungkapkan bahwa dalam periode 2016-2023, tercatat sebanyak 25 kasus kecelakaan kerja di IMIP. Insiden tersebut mengakibatkan 39 orang meninggal dunia, 82 orang mengalami luka-luka, serta 40 pekerja mengeluhkan gejala pusing akibat kondisi kerja.
Catur Widi dari Rasamala Hijau menegaskan bahwa buruh kerap menjadi pihak yang paling dirugikan dalam setiap kecelakaan kerja. “Ketika terjadi kecelakaan, buruh sering kali dianggap bertanggung jawab, bahkan kehilangan kepastian kerja. Padahal, seharusnya keselamatan mereka menjadi prioritas utama dalam kebijakan industri,” jelasnya.
Sementara itu, Alfian dari Sembada Bersama Indonesia menilai bahwa kecelakaan kerja yang terjadi di IMIP semakin membuktikan bahwa industri smelter di Indonesia lebih mengutamakan produksi dibanding keselamatan pekerja. Ia menyoroti bahwa kebijakan hilirisasi nikel yang dicanangkan pemerintah seharusnya tidak mengabaikan hak-hak pekerja. “Produksi nikel yang tinggi seharusnya tidak mengorbankan buruh dengan jam kerja panjang, upah rendah, serta risiko kesehatan akibat lingkungan kerja yang berbahaya,” ujarnya.
Tanggapan IMIP
Menanggapi temuan survei tersebut, Kepala Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja PT IMIP, Jhon Semuel, menegaskan bahwa perusahaan telah menerapkan prosedur keselamatan yang ketat. “Setiap pekerja, termasuk kontraktor dan subkontraktor, mendapatkan pelatihan induksi K3 sebelum mulai bekerja. Selain itu, kami rutin melakukan ‘toolbox meeting’ untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan kerja,” katanya dalam keterangan tertulis pada 28 Februari 2025.
Terkait penggunaan APD, Semuel menyatakan bahwa perusahaan selalu menyediakan perlengkapan yang sesuai standar. Namun, ia menyoroti bahwa ada kemungkinan beberapa pekerja tidak menggunakan APD dengan benar. “Kami akan menelusuri lebih lanjut mengenai pemanfaatan APD di lapangan, apakah sudah digunakan dengan tepat sesuai fungsinya atau ada faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan pekerja,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Sumber Daya Manusia IMIP, Achmanto Mendatu, memastikan bahwa kebijakan jam kerja di IMIP telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Waktu kerja normal di IMIP adalah tujuh jam sehari untuk enam hari kerja, atau delapan jam sehari untuk lima hari kerja, dengan total 40 jam per minggu. Waktu lembur yang diberikan juga tidak melebihi empat jam per hari sesuai dengan regulasi,” terangnya.
Meski IMIP telah menyampaikan klarifikasi, desakan dari serikat buruh untuk meningkatkan standar keselamatan kerja tetap menguat. Mereka berharap pemerintah dan perusahaan dapat segera melakukan evaluasi menyeluruh guna menekan angka kecelakaan kerja di kawasan industri tersebut.