Pilarberita.com – Kasus dugaan kekerasan yang dilakukan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menuai perhatian publik. Kepala sekolah tersebut diduga menampar seorang murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Akibat tindakan itu, ia kini dinonaktifkan dari jabatannya dan dilaporkan ke pihak kepolisian oleh orang tua siswa.
Kronologi bermula saat murid tersebut tertangkap sedang merokok di area sekolah. Kepala sekolah yang mengetahui perbuatan itu diduga menegur dan kemudian menampar siswa bersangkutan. Insiden itu memicu kemarahan orang tua murid, yang kemudian melapor ke Polres Lebak untuk menempuh jalur hukum.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Lebak, Ipda Limbong, membenarkan adanya laporan terkait kasus tersebut. Ia menyebut laporan diterima pada Jumat (10/10/2025) dan saat ini sedang dalam proses penyelidikan lebih lanjut. “Laporan sudah masuk dan sedang kami tindak lanjuti,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Banten Andra Soni mengonfirmasi bahwa kepala sekolah yang terlibat dalam insiden tersebut telah dinonaktifkan sementara. Langkah ini diambil untuk memastikan proses pemeriksaan berjalan objektif tanpa intervensi. “Proses penonaktifan sedang kami lakukan agar penyelidikan bisa berjalan transparan,” tutur Andra di Serang, Selasa (14/10/2025).
Kasus ini juga mendapat sorotan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah tersebut. Menurutnya, perilaku menyimpang siswa seharusnya ditangani dengan pendekatan pembinaan yang positif, bukan dengan kekerasan.
“Perilaku menyimpang peserta didik semestinya dibina melalui disiplin positif, bukan dengan hukuman fisik. Kepala sekolah seharusnya menggali penyebab perilaku anak, menerapkan konsekuensi yang logis, serta membangun komunikasi asertif agar siswa dapat memperbaiki diri,” kata Aris.
Ia menambahkan bahwa pihak sekolah tidak boleh bertindak sendirian dalam menindak pelanggaran yang dilakukan siswa. Keterlibatan orang tua dan keluarga, menurut Aris, menjadi kunci penting dalam proses pembinaan perilaku. “Pendekatan yang melibatkan keluarga akan membantu pengawasan dan pemberdayaan anak secara berkelanjutan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Aris menegaskan bahwa tindakan kekerasan, apapun alasannya, tidak bisa dibenarkan di lingkungan pendidikan. Ia mengingatkan bahwa Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 telah secara tegas melarang segala bentuk kekerasan di satuan pendidikan. Dalam aturan tersebut juga dijelaskan bahwa pelaku kekerasan dapat dikenai sanksi administratif tanpa menghapus kemungkinan sanksi pidana.
Menurut Aris, setiap kasus kekerasan di sekolah harus ditangani oleh satuan tugas (satgas) lintas instansi agar penyelesaiannya menyeluruh dan tidak hanya berhenti pada sanksi individual. “Penanganan kasus seperti ini harus dilakukan secara kolaboratif antara dinas pendidikan, aparat penegak hukum, serta lembaga perlindungan anak,” ungkapnya.
Kasus di Lebak ini kembali membuka perdebatan publik mengenai batasan disiplin di sekolah. Banyak pihak menilai bahwa menjaga ketertiban dan kedisiplinan memang penting, namun tidak boleh dilakukan dengan cara yang melanggar hak anak. Sebaliknya, pendekatan edukatif dinilai lebih efektif dalam membentuk karakter siswa.
Hingga kini, proses penyelidikan terhadap dugaan penamparan tersebut masih berlangsung. Pihak kepolisian disebut akan memanggil sejumlah saksi, termasuk guru dan siswa lain yang berada di lokasi kejadian, guna memastikan kronologi sebenarnya.
Kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar upaya pembinaan di dunia pendidikan tetap mengedepankan prinsip perlindungan anak serta menjunjung tinggi etika profesionalisme pendidik.















