Pilarberita.com – Pemerintah melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menargetkan percepatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) untuk mencapai ketahanan energi sekaligus menekan emisi karbon. Namun, sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut belum cukup progresif dalam menjawab tantangan perubahan iklim dan dinamika global transisi energi.
Dalam dokumen RUPTL terbaru, pemerintah merencanakan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW) dalam kurun waktu sembilan tahun ke depan. Sekitar 76 persen dari tambahan kapasitas tersebut berasal dari pembangkit berbasis energi baru terbarukan, seperti tenaga surya, hidro, panas bumi, dan bioenergi. Sementara sisanya, sekitar 24 persen, masih mengandalkan sumber energi fosil, terutama gas alam dan batu bara.
Kebijakan ini dinilai belum mencerminkan akselerasi yang dibutuhkan untuk menekan emisi karbon secara signifikan. Pengamat sektor energi menilai bahwa porsi energi fosil dalam bauran energi nasional seharusnya ditekan lebih cepat. Jika tidak, Indonesia akan kesulitan mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060 atau lebih cepat.
Meski pemerintah telah menyiapkan sejumlah proyek strategis, termasuk pengembangan pembangkit EBT skala besar dan pembangunan infrastruktur transmisi listrik antarwilayah, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan serius. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain perizinan, pendanaan, kesiapan teknologi, serta dukungan dari sektor swasta.
Selain itu, perlu adanya kejelasan mengenai skema pembiayaan proyek-proyek EBT, termasuk mekanisme insentif dan kebijakan fiskal yang mendukung transisi energi. Saat ini, sebagian besar pembiayaan proyek masih bergantung pada keterlibatan swasta, sementara badan usaha milik negara seperti PLN hanya mengelola sebagian kecil dari total investasi.
RUPTL juga mencatat bahwa pembangunan jaringan transmisi sepanjang lebih dari 47.000 kilometer dan gardu induk dengan kapasitas lebih dari 100.000 mega volt ampere (MVA) akan dilakukan untuk mendukung kelistrikan nasional. Proyek ini ditargetkan menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 1,7 juta orang selama periode pelaksanaan.
Di sisi lain, pelaku industri dan masyarakat sipil menyoroti perlunya akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek-proyek energi rendah karbon. Mereka juga mengingatkan agar transisi energi tidak mengorbankan aspek lingkungan dan sosial, seperti pembukaan lahan berskala besar yang bisa menyebabkan deforestasi.
Pemerintah menegaskan bahwa transisi energi adalah langkah tak terhindarkan untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan. Namun, keberhasilan strategi ini sangat ditentukan oleh keseriusan seluruh pemangku kepentingan, konsistensi kebijakan, serta keterbukaan dalam pelaporan capaian dan tantangan di lapangan.
Tanpa kebijakan yang lebih agresif dan sistematis, upaya Indonesia untuk menjadi negara dengan bauran energi bersih yang andal berisiko tertinggal dibandingkan negara lain yang telah lebih dahulu menjalankan transisi energi secara cepat dan terukur.