Pilarberita.com – Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momen penting yang tidak hanya mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi arah pendidikan nasional. Filosofi pendidikan yang diusung oleh tokoh pelopor pendidikan tersebut — Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani — menekankan pentingnya peran pendidik sebagai teladan, pemberi semangat, dan pendorong kemandirian peserta didik. Namun, peringatan tahun ini menyisakan pertanyaan penting: apakah semangat inklusivitas dan keadilan pendidikan yang digagasnya sudah sepenuhnya terwujud, khususnya di jenjang perguruan tinggi?
Dengan mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, Hardiknas 2025 mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat kolaborasi dalam menciptakan pendidikan yang setara. Konsep Tri Pusat Pendidikan — keluarga, sekolah, dan masyarakat — kembali digaungkan sebagai fondasi pembentukan karakter dan kecakapan generasi muda. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan yang masih terjadi di antara institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Salah satu persoalan utama terletak pada perbedaan status antara Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) dan perguruan tinggi swasta. PTN-BH mendapatkan keleluasaan dalam pengelolaan anggaran dan dukungan infrastruktur dari pemerintah, yang membuatnya memiliki daya tarik tinggi di mata calon mahasiswa. Sebaliknya, perguruan tinggi swasta — yang jumlahnya mencapai hampir 3.000 dan menampung sekitar 68,56% mahasiswa nasional menurut data BPS 2024 — masih menghadapi tantangan pendanaan, terbatasnya fasilitas, serta keterbatasan akses terhadap riset dan program unggulan.
Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada kualitas layanan pendidikan, tetapi juga memperlebar jarak antara kampus-kampus besar di perkotaan dengan perguruan tinggi swasta di daerah, termasuk wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Stigma bahwa perguruan tinggi swasta hanyalah “pilihan alternatif” turut memperparah kesenjangan. Akibatnya, institusi-institusi swasta mengalami kesulitan berkembang, baik dari sisi akademik, fasilitas, maupun minat mahasiswa.
Di tengah tantangan tersebut, semangat kolaboratif sebagaimana diajarkan Ki Hajar Dewantara perlu dikedepankan. Solusi yang dapat diupayakan antara lain penyusunan skema pembiayaan yang lebih adil oleh pemerintah, termasuk dukungan pembangunan fasilitas dan laboratorium representatif di perguruan tinggi swasta. Selain itu, perluasan akses terhadap dana riset nasional juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan daya saing.
Kolaborasi antarperguruan tinggi, termasuk antara PTN-BH dan PTS, dalam riset, pelatihan dosen, dan pengembangan kurikulum harus diperkuat. Program seperti Kampus Merdeka dan Penguatan PTS Mandiri dapat diperluas cakupannya, agar manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh kampus-kampus besar, tetapi juga merata hingga ke pelosok daerah.
Peringatan Hardiknas tahun ini sepatutnya menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara, bukan hanya segelintir yang beruntung masuk ke institusi ternama. Dengan mengedepankan semangat gotong royong dan kolaborasi, visi pendidikan yang inklusif dan bermutu untuk semua dapat diwujudkan secara nyata di seluruh pelosok negeri.