Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan uji formil serta sebagian gugatan uji materi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam sidang yang berlangsung di Jakarta, pada Selasa (04/05).
Terkait uji materi, MK menyatakan KPK tidak lagi harus izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan. MK juga mencabut kewenangan Dewan Pengawas dalam memberi izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.
Namun, MK menolak gugatan para pemohon mengenai Pasal 24 terkait status kepegawaian lembaga yang harus menjadi aparatur sipil negara (ASN).
“Tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai AS dengan pengawasan ASN oleh KASN dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas keran keduanya saling melengkapi,” kata Hakim MK, Enny Nurbaningsih.
Di tengah pembacaan putusan ini, pertanyaan soal penyidik KPK Novel Baswedan mencuat.
Novel disebut-sebut telah dipecat karena tidak lolos hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai proses alih status jadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kepada BBC News Indonesia, Novel mengaku belum mengetahui dirinya lolos atau tidak dalam proses seleksi tersebut.
“Secara resmi belum diumumkan, dan juga belum ada keputusan atau ketetapan apa pun,” katanya.
Sejumlah laporan menyebutkan sedikitnya 75 pegawai dan penyidik KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan, di antaranya Novel Baswedan yang memiliki rekam jejak sebagai penyidik yang menangani kasus-kasus besar seperti korupsi KTP elektronik, korupsi kasus benih lobster, kasus suap Hakim MK Akil Mochtar, korupsi simulator kemudi SIM, dan kasus Harun Masiku.
Baca juga:
Adapun beragam pertanyaan dalam TWK telah beredar ke media sosial, antara lain “Semua orang China sama saja”, “Penista agama harus dihukum mati”, dan “Kaum homosex harus diberikan hukuman badan”.
Seorang penyidik di KPK mengakui pertanyaan itu diajukan saat proses seleksi kepegawaian KPK. “Iya, itu benar,” katanya.
Penyidik KPK, Novel Baswedan, saat dikonfirmasi BBC News Indonesia juga membenarkan pertanyaan-pertanyaan yang tersebar tersebut. “Info yang beredar tersebut valid,” katanya, Selasa (04/05).
Akan tetapi, Badan Kepegawaian Negara (BKN) belum memberikan komentar.
TWK atau Tes Wawasan Kebangsaan merupakan menjadi salah satu tahapan perubahan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Perubahan status tersebut merupakan dampak UU KPK hasil revisi.
Pegawai KPK diwajibkan menjadi ASN maksimal dua tahun sejak UU tersebut disahkan pada 17 September 2019.
Dikutip dari situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, asesmen dilakukan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam penyelenggaraannya.
Terkait tes ini, BKN sudah menyerahkan hasilnya kepada KPK pada 27 April 2021. KPK mengaku segera mengumumkan hasil tes itu.
Novel: “Jika ditolak maka ini kesedihan kita”
Penyidik KPK, Novel Baswedan mengatakan putusan MK terkait Undang Undang KPK merupakan “Kesempatan untuk bisa berbuat, dalam rangka menguatkan pemberantasan korupsi di Indonesia, dalam hal ini penguatan KPK kembali,” katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (03/05).
Sebaliknya, kata Novel, “Seandainya putusan itu menolak semuanya, maka ini kesedihan untuk kita semua, karena kita menghadapi fakta bahwa korupsi semakin membahayakan, menakutkan, semakin banyak. Sedangkan pemberantasan korupsi pada posisi yang, kurang menguntungkan atau posisi dilemahkan.”
Para pemohon, salah satunya adalah mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo, sebelumnya menggugat secara formil terkait dengan pengesahan UU KPK.
Di antaranya, RUU KPK tidak masuk prolegnas, tidak melibatkan masyarakat, dan terdapat penyelundupan pasal karena pembentukan UU dilakukan dengan cepat.
Namun, dalam dalam putusan ini terdapat dissenting opinion yang disampaikan Hakim MK Wahiduddin Adams.
Menurutnya, pengesahan UU KPK dilakukan terlalu cepat. Hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019 dan beberapa minggu menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.”
“Jelas berdampak secara signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, sangat minimnya masukan yang diberikan oleh masyarakat secara tulus dan bernjenjang, dan dari para supporting system yang ada baik dari sisi Presiden maupun DPR…” katanya.
‘Harapan terakhir’
Dalam uraiannya, Hakim MK mengatakan keberatan yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Di antaranya terkait dengan naskah akademik fiktif, tidak melibatkan masyarakat, dan dikatakan tidak masuk dalam daftar prolegnas serta penyelundupan dalam proses pembuatan UU.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim MK Saldi Isra.
Uji materi UU KPK disebut pegiat menjadi harapan terakhir sebagian kelompok masyarakat sipil terhadap lembaga antirasuah.
Indonesia Corruption Watch, salah satu organisasi yang mengajukan gugatan revisi UU KPK, mencatat selama di bawah Undang Undang KPK, sederet kasus besar berpotensi lepas dari jeratan, seperti yang dimulai dalam kasus BLBI dengan kerugian negara sekitar Rp4,58 triliun.
Lebih dari 50 guru besar dari kampus di Indonesia menyurati Mahkamah Konstitusi, berpesan untuk mengabulkan gugatan UU KPK.
Sementara itu penyidik KPK, Novel Baswedan menilai jika MK menolak gugatan, maka ini akan menjadi apa yang ia sebut “kesedihan bersama” di tengah lonjakan kasus korupsi.
Di sisi lain, salah satu penggagas revisi UU KPK di DPR menilai kalangan yang menolak kebijakan ini hanya berdasar prasangka. Hal yang dikritik pada KPK ia sebut sebagai “dinisbahkan” kepada revisi UU KPK.
Undang Undang ini sudah digugat ke MK lebih dari satu tahun lalu, saat jalanan kota-kota besar di warna aksi protes menolak Undang-Undang yang mereka sebut melemahkan KPK.
Peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan setahun aturan ini diterapkan, kasus kelas kakap berpotensi lepas dari jeratan karena KPK memiliki kewenangan menghentikan kasus korupsi.
Penghentian kasus terbaru adalah BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dengan potensi kerugian negara Rp4,58 triliun.
Kasus kelas kakap lain juga berpontensi lepas dari jeratan yaitu Century, KTP-Elektronik, kasus korupsi PLTU Riau-1, Pelindo II, “yang melibatkan petinggi lembaga negara, struktur korupsi aktor lintas lembaga negara dan daerah, dan kerugian negara atau nilai suap triiunan rupiah.”
Bukan hanya itu, kata Lalola Easter, di bawah Undang Undang KPK terbaru, lembaga ini telah mengalami apa yang disebut kebocoran informasi operasi penggeledahan korupsi di Kalimantan Selatan, termasuk penundaan penggeledahan kasus politikus PDI Perjuangan Harun Masiku.
“Ketika awal-awal kasus Harun Masiku itu penggeledahan tidak jadi dilakukan,” kata Lola – sapaan Lalola Easter, kepada BBC News Indonesia, Senin (03/05).
Lola juga menyoroti kasus-kasus yang membuat citra KPK memburuk ini disebabkan adanya Dewan Pengawas yang merupakan amanat Undang Undang KPK yang baru. Keberadaan dewan pengawas yang dipilih langsung Presiden Joko Widodo ini, menambah panjang birokrasi sehingga berpotensi menyebabkan informasi penggeledahan bocor.
“Salah satu hambatannya (penggeledahan) adalah karena birokrasi yang harus ditempuh lewat dewan pengawas,” tambah Lola.
Sejauh ini ICW mencatat terjadi penurunan kasus tangkap tangan oleh KPK. Di bawah kepemimpinan Firly Bahuri, sepanjang 2020 kemarin, KPK hanya melakukan tujuh operasi tangkap tangan. Jumlah ini jauh dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 21 kali (2019), 30 kali (2018), dan 19 kali (2017).
‘KPK seperti Polres Kuningan’
Sementara itu, dampak Undang Undang KPK ini juga ditunjukkan lewat skor indeks persepsi korupsi. Skor CPI dan peringkat global Indonesia turun drastis, dari skor 40 pada tahun lalu menjadi hanya 37 pada 2020. Sementara peringkat global Indonesia dari 85 dunia kembali turun menjadi 102.
“Cek pernyataan ketua KPK yang akan selalu mengutamakan pencegahan dari pada penindakan, tapi menurut saya dalam tafsir yang keliru,” kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman kepada BBC News Indonesia, Senin (03/05).
Zaenur menambahkan, antara pencegahan dan penindakan korupsi perlu beriringan, “agar tidak terulang.”
Selain itu, Zaenur juga memperhatikan KPK saat ini yang “seakan-akan istilahnya adalah cabang dari kepolisian. Bahkan sebagian mengatakan seperti Polres di Kuningan”. Hal ini menurutnya, dikarenakan posisi-posisi strategis di KPK saat ini dikuasai kepolisian.
“Apakah itu buruk? Tidak. Tapi bahwa KPK diciptakan untuk men-trigger kepolisian dan kejaksaan. Tapi sekarang banyak didominasi lembaga dari kepolisian, menurut saya ini terbalik,” kata Zaenur.
Ia juga menyoroti gaya-gaya konferensi pers KPK di mana terdapat tersangka yang diikutsertakan dengan menggunakan rompi oranye menghadap dinding, dengan barang bukti berupa uang yang dicairkan.
“Kemudian alat buktinya dipampang, kalau berupa uang dicairkan terlebih dahulu menjadi uang tunai,” katanya.
Sebanyak 50 guru besar kirim pesan ke MK
Seruan kepada MK untuk mengabulkan permohonan membatalkan Undang Undang KPK sebelumnya disampaikan Koalisi Guru Besar Antikorupsi. Koalisi yang mengklaim terdiri dari 51 guru besar dari universitas di Indonesia berharap MK mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala.
Salah satu anggota koalisi adalah Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Prof Sulistyowati Irianto.
“Kawan-kawan menginginkan supaya dikembalikan minimal seperti dulu, sebelum direvisi UU KPK itu. Mengapa? Karena korupsi itu tindakan yang sangat extraordinary,” kata Prof Sulistyowati kepada BBC News Indonesia, Senin (03/05).
Lebih lanjut ia menilai UU KPK saat ini memposisikan KPK sebagai lembaga biasa. Keputusan MK akan menjadi bayaran mahal untuk Indonesia ke depan.
Selain Profesor Sulistyowati, mereka yang bergabung dalam koalisi ini antara lain Guru Besar FEB UI Emil Salim, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Lalu, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto, Guru Besar FH UII, Ni’matul Huda, Guru Besar STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno, dan Guru Besar FISIP Unair, Ramlan Surbakti.
Evaluasi dari yang menolak dianggap sebagai prasangka
Sementara itu, salah satu penggagas revisi UU KPK di DPR menilai kalangan yang menolak kebijakan ini hanya berdasarkan prasangka. Segala hal yang dikritik pada KPK ia sebut sebagai “dinisbahkan” kepada revisi UU KPK.
Arsul Sani selaku anggota Komisi Hukum DPR, sekaligus salah satu penggagas revisi UU KPK, menilai segala kritik yang disampaikan kepada KPK selama setahun terakhir ini sebagai prasangka.
“Begitu ada satu kasus, kebocoran, maka itu akan dinisbahkan karena ini revisi UU KPK. Teman-teman itu lupa, bahwa kebocoran dokumen di KPK itu bukan hanya ketika setelah UU KPK itu direvisi. Kan sebelum itu ada beberapa kali kasus kebocoran sprindik,” katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (04/05).
Selain itu, ia juga merespons kritik terhadap kepemimpinan KPK di bawah Firly Bahuri. Menurutnya, setipa masa kepemimpinan KPK memiliki persoalannya masing-masing.
“Seolah-olah kepemimpinan KPK periode sebelumnya ada revisi itu tidak bermasalah. Maka yang ingin saya sampaikan, KPK dari periode ke periode ada masalahnya sendiri-sendiri. Saya kemudian bisa menguraikannya dengan panjang,” lanjut Arsul.
Sejauh ini DPR juga mengevaluasi penerapan UU KPK terbaru selama satu tahun terakhir. Menurutnya dewan pengawas KPK perlu mendapat kewenangan lebih rinci karena tidak diatur dalam undang undang. Hal ini ia catat setelah menggelar rapat dengar pendapat dengan dewan pengawas KPK.
“Karena itu, maka saya sampaikan di dalam rapat, apakah revisi KPK KPK itu perlu direvisi kembali. sebab orang sepreti saya, harus terbuka, pikirannya, ketika UU dirasakan ada kekurangannya, termasuk revisinya, ya harus terbuka, untuk melakukan revisi atau perubahan kembali,” tambah Arsul.
Terkait dengan keputusan akhir MK mengenai UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK, Arsul meminta semua pihak untuk terbuka menerimanya.
“DPR dan pemerintah juga harus berbesar hati, untuk memperbaiki semuanya. Untuk memperbaiki kembali.
“Di sisi lain, kalau gugatan itu ditolak, jangan juga kemudian diteriaki MK-nya. ‘Ini MK ada di barisan yang ingin melemahkan KPK’, jangan seperti itu,” kata Arsul.
MK kurangi kewenangan dewan pengawas tapi pertahankan status ASN pegawai dan penyidik KPK
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
MK mencabut sebagian besar kewenangan Dewan Pengawas KPK dalam izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan tapi tetap mempertahankan peralihan pegawai KPK menjadi ASN.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Hakim MK, Anwar Nasution.
KPK tetap di bawah kuasa pemerintah tapi independen
Pasal-pasal yang dikabulkan MK dalam gugatan uji materi antara lain mengenai lembaga KPK yang dipertahankan berada di bawah rumpun eksekutif.
Pasal 1 angka tiga, yang semula berbunyi “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Undang Undang ini.”
Diubah menjadi “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”
MK mengurangi kewenangan dewan pengawas dalam penyadapan
Selain itu, MK juga menyatakan Pasal 12B, Pasal 37B ayat 1 huruf B, dan Pasal 47 ayat 2 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal ini lebih banyak mengatur kewenangan Dewan Pengawas KPK, antara lain:
Pasal 12B mengenai penyadapan, MK menyatakan KPK tidak lagi harus izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.
Pasal 37B ayat 1 huruf B tentang tugas Dewan Pengawas. MK mencabut kewenangan Dewan Pengawas dalam memberi izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.
Pasal 47 ayat 2 tentang izin tertulis terhadap permintaan dari KPK. Pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.
Pencabutan pasal-pasal di atas ini berdampak terhadap perubahan pasal lainnya, yaitu:
Pasal 12C ayat 2, di mana semula berbunyi, “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat 1, yang telah selesai dilaksanakan, harus dipertanggungjawabkan pada pimpinan KPK dan dewan pengawas paling lambat 14 hari kerja, terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan”
Menjadi selengkapnya berbunyi “penyadapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat 1, yang telah selesai dilaksanakan, harus dipertanggungjawabkan pada pimpinan KPK dan ‘diberitahukan’ kepada dewan pengawas paling lambat 14 hari kerja, terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan”
Perubahan frase juga terjadi pada Pasal 40 ayat 2, yang semula berbunyi “penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, harus dilaporkan kepada dewan pengawas paling lambat 1 minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan, dan penuntutan,”
Menjadi selengkapnya berbunyi “penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ‘diberitahukan’ kepada dewan pengawas paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan, dan penuntutan.”
Perubahan frase juga terjadi pada Pasal 47 ayat 1. Semula berbunyi “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan, dan penyitaan atas izin tertulis dari dewan pengawas”,
Menjadi selengkapnya berbunyi, “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan, dan penyitaan dengan memberitahukan kepada dewan pengawas”
MK pertahankan SP3 KPK dengan catatan
Terakhir, Pasal 40 ayat 1 di mana semula berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun tahun”
Menjadi selengkapnya berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP”.