Jakarta –
Melalui rilis di situs resminya (bpk.go.id) awal Januari 2021, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan pendapat atas pengelolaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada pemerintah. Peristiwa tersebut ibarat oase bagi pengelolaan BPJS yang sejak pendiriannya 2015-2019 mengalami defisit dengan total Rp 125,61 triliun rupiah. Demikian pula berbagai permasalahan layanan dan fasilitas kesehatan, serta target peta jalan JKN 2012-2019 yang belum tercapai. Melebihi peran tradisionalnya sebagai auditor keuangan negara dan mendukung pencegahan fraud melalui fungsi oversight, pendapat BPK kali ini menjalankan fungsi insight dan foresight.
Sebagai salah satu hak warga negara, jaminan kesehatan melalui BPJS merupakan amanat UU yang pelaksanaannya terus diperbaiki. Adagium mengatakan, bangsa yang kuat adalah bangsa yang sehat. Publik melihat masih terdapat pekerjaan rumah BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program JKN, dimana pendapat BPK menyoroti tiga aspek penting, yaitu aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan.
Permasalahan dan Rekomendasi
BPK berpendapat bahwa program JKN belum mampu memenuhi target Universal Health Coverage (UHC) yang disebabkan karena sistem data base kepesertaan belum menyatu dengan data base kementerian/lembaga (K/L) terkait untuk menjamin validitas serta merespons perkembangan kependudukan secara real time. Selain itu identitas kepesertaan JKN belum terintegrasi dengan kebijakan K/L lain terkait persyaratan pelayanan publik, misalnya perbankan. Untuk menyelesaikannya perlu diwujudkan data tunggal peserta JKN dengan mengintegrasikan sistem data base lintas K/L dan melakukan sinkronisasi peraturan terkait dukungan lintas K/L untuk pencapaian UHC.
Lebih lanjut BPK berpendapat masyarakat belum memperoleh pelayanan optimal, karena belum jelasnya pendefinisian kebutuhan dasar kesehatan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Selain itu berbagai permasalahan administrasi menyebabkan kendala pemberian layanan kesehatan secara cepat, dimana sebaran sumber daya kesehatan dan obat/kebutuhan farmasi belum merata di setiap wilayah. Selain itu, penyediaan obat-obatan dari sisi jumlah, jenis, dan ketepatan waktu belum optimal. Demikian pula belum memadainya penapisan teknologi kesehatan serta Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK), serta lambatnya implementasi/pemutakhiran INACBG’s. Sementara pelayanan yang melebihi tarif INACBG’s bisa memperburuk mutu pelayanan kesehatan bagi pasien.
BPK merekomendasikan pemerintah untuk mendefinisikan kebutuhan dasar kesehatan secara jelas untuk pemenuhan prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Perlu dipercepat penerapan finger print dalam pelayanan di FKTP maupun FKRTL. Perlu disusun pentahapan yang jelas dan terukur pemenuhan sumber daya kesehatan di seluruh wilayah. Mendorong K/L dan daerah mengikutsertakan swasta dalam pemenuhan obat. Melakukan penapisan dan memperbaharui teknologi kesehatan secara efektif, meng-update PNPK secara rutin sesuai prioritas kebutuhan, dan mengevaluasi aplikasi Diagnostic Related Group. Akhirnya pemerintah perlu mengevaluasi tarif INACBG’s untuk mendorong efisiensi pelayanan kesehatan secara objektif.
Menurut BPK pendanaan BPJS Kesehatan belum mampu menjamin kolektibilitas dan keakuratan besaran iuran Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Selain itu penetapan dana kapitasi belum mempertimbangkan sumber daya manusia dan kelengkapan sarpras sebagai norma pelayanan FKTP. Permasalahan lain adalah banyaknya rujukan pasien ke FKRTL yang semestinya bisa dituntaskan dan akibat lemahnya fungsi promotif dan preventif di FKTP. Perlunya dilakukan perbaikan atas aplikasi verifikasi klaim pelayanan kesehatan yang belum mendukung sepenuhnya pengelolaan beban pelayanan.
Akhirnya kualitas layanan kesehatan dapat terimbas kondisi defisit keuangan BPJS Kesehatan, dimana kontribusi APBD belum optimal. Rekomendasi BPK merujuk pada permasalahan di atas yang secara implisit telah mengandung solusinya, dimana di batang tubuh Pendapat BPK dijelaskan secara mendetail.
Nilai Lebih Pendapat BPK
Pendapat BPK terkait program JKN memang bukan yang pertama, namun memiliki bobot signifikan. Sejak 2009 sampai 2020, BPK telah mengeluarkan sebelas buku pendapat meliputi 21 tema, yakni penetapan harga jual eceran BBM bersubsidi, belanja Kementerian Pertahanan dan TNI, penyelenggaraan adminduk, ibadah haji, pelaporan keuangan berbasis akrual, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan aset properti eks BPPN, pelaksanaan anggaran akhir tahun, penyediaan air bersih, pelaksanaan amnesti di Arab Saudi, sampai terkait investasi pemerintah.
Nilai lebih Pendapat BPK kali ini karena disusun berdasarkan pengayaan dan pendalaman atas berbagai laporan hasil pemeriksaan (LHP), baik pemeriksaan kinerja, kepatuhan (PDTT), maupun keuangan melalui diskusi mendalam dengan praktisi, akademisi, pengelola serta regulator terkait BPJS Kesehatan, dan benchmarking dengan lembaga sejenis di negara lain, untuk menyamakan frekuensi, validasi data, memperdalam kesimpulan dan memastikan keterterapan rekomendasi yang akan diberikan. Pendapat BPK diharapkan mencegah temuan berulang, serta terjadinya fragmentasi, overlap, dan duplikasi program-program pemerintah.
Peran insight dan foresight BPK di atas sejalan dengan value and benefit of Supreme Audit Institution, yaitu untuk selalu relevan dan terhubung dengan seluruh pemangku kepentingan, responsif terhadap lingkungan yang terus berubah dengan memitigasi segala risiko yang muncul, serta menjadi sumber yang kredibel berdasarkan insight objektif dan independen untuk mendukung perubahan bermanfaat bagi sektor publik.
Peran insight BPK dijalankan misalnya melalui pemberian pendapat mengenai program, kebijakan, dan operasional; memberikan contoh best practices sebagai acuan entitas lain; dan meningkatkan hubungan lintas sektor dengan institusi pemerintah serta mitra non-pemerintah melalui pendalaman atas kebijakan serta isu publik. Sedangkan peran foresight dijalankan dengan pemberian tinjauan masa depan atau implikasi jangka panjang dari kebijakan pemerintah serta melakukan identifikasi tren dan tantangan ke depan sektor publik untuk mencegah terjadinya krisis, agar pemerintah dapat memilih alternatif kebijakan masa depan.
Menarik dicermati Sasaran Strategis BPK 2020-2024, “Meningkatnya pemanfaatan rekomendasi, pendapat, dan pertimbangan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta penyelesaian ganti kerugian negara yang didukung tata kelola organisasi berkinerja tinggi.” Untuk itu BPK menyusun indikator implementasinya, yaitu: 1) tingkat kualitas dan manfaat tata kelola keuangan negara berdasarkan hasil pemeriksaan BPK; 2) indeks kepuasan pemangku kepentingan atas manfaat hasil pemeriksaan; dan 3) nilai quality assurance reformasi birokrasi.
Mungkin terlalu dini menyimpulkan pendapat BPK berdampak signifikan terhadap kinerja BPJS Kesehatan yang pada Februari 2021 mencatatkan surplus TA 2020 sebesar Rp 18,7 triliun. Paling tidak berdasarkan daftar pemeriksaan BPK sejak 2015 sampai dengan 2019 yang menjadi lampiran Pendapat BPK sebagian besar telah sesuai ditindaklanjuti, dan sebagian lainnya belum sesuai atau belum ditindaklanjuti telah mendorong BPJS Kesehatan mengarah pada perbaikan tata kelola Program JKN.
Tindak lanjut atas Pendapat BPK agaknya akan mendorong perbaikan mendasar di level kebijakan, lebih menjamin berkelanjutan perbaikan program yang bukan hanya terkait pendanaan, namun juga pelayanan dan kepesertaan untuk memenuhi target program JKN melalui collaborative governance lintas K/L di era new public service serta difusi inovasi saat ini.
Nico Andrianto mahasiswa Program Doktor Terapan Ilmu Administrasi Pembangunan Negara, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN) Jakarta
(mmu/mmu)