Pilarberita.com – Kasus penahanan ijazah kembali mencuat ke permukaan setelah seorang mantan karyawan bernama Satrio Ambasakti (20) melaporkan UD Sentoso Seal, perusahaan tempatnya bekerja selama lima bulan terakhir. Satrio memutuskan mengundurkan diri pada Senin, 14 April 2025, menyusul ramainya pemberitaan publik mengenai dugaan penahanan dokumen penting oleh perusahaan tersebut.
Keputusan Satrio untuk mundur dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap citra dirinya yang turut terdampak karena masih bekerja di perusahaan yang tengah menjadi sorotan. “Karena saya tahu kasusnya semakin besar. Jadi saya malu juga karena di situ dan untungnya buat saya juga apa,” ujarnya saat ditemui di Mapolda Jawa Timur, Selasa (22/4/2025).
Meski telah mengajukan resign, hingga saat ini Satrio belum menerima kembali ijazah dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) miliknya. Ia pun memilih bergabung dengan 40 mantan karyawan lain yang juga melaporkan pimpinan dan staf UD Sentoso Seal ke pihak kepolisian.
Satrio sebelumnya melamar posisi staf gudang melalui aplikasi informasi lowongan kerja. Dalam pengumuman lowongan tersebut, tidak disebutkan adanya kewajiban menyerahkan dokumen asli seperti ijazah dan SKCK. Namun, kebijakan itu justru muncul saat proses wawancara berlangsung. “Ijazah dan SKCK asli, dibilang waktu interview, di loker tidak ada,” tuturnya.
Menurut Satrio, saat tahapan seleksi berlangsung, ia menyerahkan ijazah langsung kepada staf administrasi bernama Putri. Dokumen itu kemudian diteruskan kepada Vero, yang saat itu menjabat sebagai bagian Human Resource Development (HRD) perusahaan.
Nama Vero kini turut dilaporkan oleh para mantan karyawan ke Polda Jatim atas dugaan penggelapan. Vero disebut sebagai pihak yang diduga menahan ijazah sejumlah karyawan, termasuk milik Satrio.
Selama bekerja di UD Sentoso Seal, Satrio mengaku menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), yaitu kurang dari Rp 3 juta per bulan. Pada awal masa kerja, ia memang tidak dikenakan biaya administrasi, lantaran telah menyerahkan ijazah sebagai jaminan. Namun, apabila karyawan memutuskan untuk mengundurkan diri secara mendadak, mereka diwajibkan membayar Rp 2 juta sebagai bentuk tebusan dokumen.
“Saya enggak (bayar Rp 2 juta). Kecuali kalau saya mau resign mendadak, saya harus tebus ijazah tersebut,” jelasnya.
Kasus ini menyoroti kembali praktik tidak etis yang masih terjadi di sejumlah perusahaan, terutama dalam hal pengelolaan dokumen pribadi karyawan. Penahanan ijazah oleh perusahaan disebut sebagai bentuk pelanggaran hukum yang tidak dapat dibenarkan.
Kini, Satrio bersama puluhan korban lainnya menanti proses hukum yang sedang berjalan. Mereka berharap hak-haknya sebagai pekerja dapat dikembalikan dan perusahaan bertanggung jawab atas kebijakan yang merugikan karyawan. Sementara itu, aparat kepolisian masih terus mendalami laporan dan mengumpulkan bukti untuk menindaklanjuti kasus ini sesuai prosedur yang berlaku.